Sebuah Pembelajaran Hidup


Lucas leiva: THE TALE OF AN UGLY DUCKLING BECOMES A BEAUTIFUL SWAN.
                    
               


       Lucas Pezzini Leiva, begitulah nama lengkap pria Aquarius kelahiran 26 tahun silam ini, memulai debut sepakbola profesional di usia 18 tahun bersama Gremio, 2 tahun kemudian Lucas memenagkan Bola De Ouro atau yang lebih sering disebut Placar, penghargaan untuk pemain terbaik di liga Brazil yang pernah dimenangkan oleh nama-nama beken semisal Romario, Kaka, dan Neymar. Pada 2007, Lucas meninggalkan tanah airnya untuk menjawab ketertarikan Rafael Benitez yang saat itu masih menahkodai Liverpool F.C.
       Apa yang sebenarnya Benitez harapkan dari seorang Lucas Leiva? Memang benar Lucas adalah pemenag Placar, namun, sebagai pesepakbola Brazil yang berposisi sebagai attacking midfielder ketika itu, Lucas tidak dikaruniai teknik dribbling bola sekelas Ricky Kaka, gocekan aduhai seperti Neymar atau tendangan keras nan akurat semisal Roberto Carlos.
        Jangankan bermain reguler, Lucas muda pun hanya sesekali disertakan Benitez di starting line up untuk menyaksikan pertandingan lebih dekat dari bench. Karena pada masa itu, Liverpool memiliki gelandang berlabel pemain top dunia, sebut saja Steven Gerrard, Momo Sissoko, Luis Garcia, Xabi Alonso, dan Javier Mascherano. Setelah kepergian Xabi, bukannya Lucas mendapatkan tempat di tim utama menemani Mascherano, Liverpool yang kala itu dilatih Roy Hodgson malah mendatangkan Christian Poulsen yang pada akhirnya Poulsen pergi dari Anfield bersama rekan senegaranya, Per Kroldrup.
         Akhirnya, pada 2010, Lucas mendapatkan tempat di tim utama setelah Mascherano tergoda untuk memainkan sepakbola yang lebih indah di Barcelona. Sampai pada musim 2011-2012, Lucas menjadi pemain di Liga Inggris yang melakukan tekel sukses dengan persentase terbaik walaupun hanya bermain setengah musim, mengungguli pemain-pemain semacam Yaya Toure, Nigel De Jong atau Darren Fletcher.
       Beberapa waktu yang lalu ada 2 interview yang menyita perhatian saya, yang pertama interview Nuri Sahin yang mengatakan senang terlepas dari cengkraman Brendan Rodgers karena tidak memainkan dirinya diposisi seharusnya, jadi dia memutuskan untuk kembali ke Borussia Doortmund. Dan interview Lucas Leiva yang mengatakan pada 2009 dia menolak tawaran Fiorentina yang menjanjikannya tempat utama, atau kembali ke Brazil, daripada di Anfield dan terus dibanding-bandingkan dengan Xabi dan Mascherano, tapi Lucas memilih tetap tinggal, berusaha keras, Lucas tidak dianugerahi teknik umpan-umpan akurat seperti Sahin, dia bagaikan aib bagi Brazil, pemain yang, keras, dan kotor, dan gigih merebut bola, bahkan dia rela merubah posisi dari gelandang serang menjadi jangkar, gelandang pengangkut air yang gigih merebut dan memutuskan ritme permainan lawan. Bahkan tim terkuat Brazil pun selalu mebutuhkan penyeimbang seperti Lucas, seperti yang ada pada diri Carlos Dunga atau Gilberto Silva.
      Disini, Lucas memberi pelajaran bagi kita, kerendahan hati, kerja keras, pantang menyerah, bahwa kita bisa merubah nasib, bahwa kita dapat memaksimalkan kemampuan kita yang dianggap orang lain adalah kekurangan, bahwa si itik buruk rupa bisa menjadi angsa yang rupawan.



LIONEL MESSI: SI KUTU LONCAT YANG MENGGAPAI LANGIT IMPIAN



                        
Messi lahir dan besar di Rosario, 300 kilometer sebelah barat laut dari Buenos Aires. Ia lahir dengankelainan hormon yang membuat tubuhnya tak bisa tumbuh seperti anak-anak seusianya. Kondisi fisik itu membuatnya terbuang dari sepak bola. Menurut The Mirror, pada hari pertama sekolah dasarnya, Messi dilarang ikut bermain sepak bola oleh pelatih karena badannya terlalu kecil. Padahal, anak yang ditolak ini akan menyabet gelar pemain terbaik dunia, bukan sekali, melainkan dua kali, dan mungkin akan bertambah lagi.

"Pada masa kecilku, aku mengalami masa-masa sulit karena masalah hormon," kata Messi,
 yang oleh kakaknya, Rodrigo, dijuluki "kutu". Pada 1995, dalam usia delapan tahun, Messi diminati River Plate. Namun, River Plate tak jadi merekrut Messi karena keberatan membayar biaya pengobatan bulanan Messi yang mencapai 500 poundsterling atau sekitar Rp 7 juta. Messi tampak semakin mustahil menjelajahi lebih luas dunia sepak bola, ketika tim medis klub itu mengatakan kepada keluarganya bahwa Messi hanya bisa tumbuh setinggi tak lebih dari 140 sentimeter. Karena kondisi ekonomi, ayah dan ibu Messi menyerah. Jangankan membiayai perawatan Messi, untukmemenuhi kebutuhan sehari-hari Messi dan tiga saudaranya saja, Jorge dan Celia, mereka kesulitan.

Keadaan Messi dan keluarganya tak tampak akan membaik. Sampai saat Messi berusia 12 tahun, sanak keluarganya
 yang tinggal di Catalonia mendaftarkan Messi untuk mengikuti uji coba di Barcelona.
Direktur Barcelona saat itu, Carlos Rexach, terbang melintasi benua dan tidak menyesal. "Saya memanggilnya dan, sebagai ungkapan simbolis (ikatan kontrak), saya memintanya membubuhkan tanda tangan di atas sebuah kertas," kenang Rexach.
Setelah Barcelona setuju menjamin semua biaya perawatannya, Messi berangkat ke Spanyol
 denganayahnya dan masuk tim U-14 Barcelona pada tahun 2000. Pada pertandingan pertamanya, Messi mencetak lima gol.
Sekarang, Messi sudah setinggi sekitar 170 sentimeter dan telah mengoleksi lima gelar La Liga, tiga trofi Liga Champions, medali emas olimpiade, dan menurut Forbes memiliki kekayaan senilai 20 juta poundsterling atau sekitar Rp 282 miliar. Namun, menurutnya, ia akan tetap
 hidup seperti biasa, menikmati sarapan berupa danish pastry dan segelas kopi, misalnya.

"Aku suka
 hidup sederhana. Aku manusia pada umumnya. Aku mengendarai mobil yang disediakan klub," kata Messi, yang kini memiliki yayasan amal untuk kesehatan dan pendidikan anak-anak bernama "The Leo Messi Foundation".
"Aku tidak membaca buku. Hal istimewa bagiku adalah mencetak gol. Aku suka merayakannya bersama teman-teman dan rekan tim. Aku menyukai kegiatan amalku
 dengan yayasan yang membantu anak-anak di seluruh dunia."
Di halaman biografinya di jejaring sosial Facebook, ia mengatakan, "Berapa pun jumlah gelar, trofi, dan penghargaan, aku akan selalu
 menjadi anak-anak yang tumbuh di Rosario, Santa Fe, Argentina."
"Aku belajar berjalan di sana sehingga bisa mengejar impianku. Pernah ada
 yang mengatakan kepadaku, aku tak akan pernah menjadi pesepak bola."
"Menjadi lebih kecil dari
 yang lain membuatku berusaha menjadi lebih cepat. Pencemooh, pengkritik, dan penentang membuatku lebih memiliki tekad dari sebelumnya. Dengan dukungan keluarga, aku pindah ke Spanyol dengan kesempatan bermain untuk Barca. Ini adalah kesempatan menjadi pemain yang selalu kuimpikan dan bisa aku alami," – Leo Messi



Javier Zanetti: Superman dari Buenos Aires

                                     

Javier Adelmar Zanetti lahir pada tanggal 10 Agustus 1973 di Buenos Aires, Argentina. Dia mendapat julukan Pupi di Argentina. Setelah bermain di Italia, Zanettikembali mendapat julukan, yaitu Il Trattore (The Tractor) karena kekuatan, keuletan, stamina dan kemampuan berlarinya melewati pemain bertahan lawan ketika ikut membantu menyerang dari posisi bek kanannya. Belakangan ini dia juga bermain di posisi pemain tengah kanan. 

Setelah ditolak masuk ke tim muda Independiente, Zanetti bergabung dengan Talleres de Remedios de Escalada (tim divisi 2). Tetapi tidak lama kemudian pada tahun 1993 dia pindah ke klub divisi satu Argentina, Banfield. Zanetti yang saat itu masih berumur 20 tahun memulai debutnya pada tanggal 12 September 1993 ketika melawan River Plate. Gol pertamanya terjadi 17 hari kemudian saat melawan Newell's Old Boys yang berakhir dengan kedudukan 1-1. Penampilannya yang menawan membuatnya menjadi incaran klub-klub besar. Pada tahun 1995, dia akhirnya pindah ke Inter menjadi pembelian pertama dari Massimo Moratti. Di usianya yang ke 38 Zanetti mencetak rekor sebagai pemain yang paling banyak membela Inter Milan dengan 757 laga, melewati rekor legenda Inter dan Timnas Itali yang juga bek, Beppe Bergomi dan Giacinto Facchetti.

Flashback ke masa lalu, kehidupan Zanetti bisa dibilang suram, Ibunda Zanetti adalah pembantu rumah tangga, ayahnya pemulung, Zanetti hanya bisa bertemu mereka sehabis pulang kerja pada malam hari, dan Zanetti bekerja part time di toko grosir sambil berlatih sepakbola, saking miskinnya Zanetti tidak memiliki uang untuk mengganti sepatu yang rusak, dan sang Ayah meng-sol sepatu yang lama. Di Tahun 2011, saat Inter memenangkan Copa Italia melawan Palermo, Ibunda Zanetti memberi pesan suara, “Nak, Aku sangat bangga padamu, aku bahagia, I love you” Zanetti tidak sempat menghubungi Ibunya balik karena sedanh dalam keriuhan pesta, esok harinya, Ibunda Zanetti meninggal.








Tags:

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.