Abel Xavier
Bila Anda penggemar sepakbola dan sempat menyaksikan pertandingan semifinal Piala Eropa 2000 antara Portugal vs Prancis, pasti tidak akan lupa pada peristwa handsball kontroversial di kotak penalti yang dilakukan oleh pemain Portugal yang menyebabkan tim tersebut tersingkir dari perhelatan sepakbola negara-negara Eropa tersebut secara tragis. Pemain Portugal tersebut tak lain adalah Abel Xavier.
Sosok Abel Xavier diingat bukan hanya karena permainannya di lapangan hijau, namun juga karena penampilannya yang terbilang nyentrik. Bek asal Portugal ini memang dikenal senang menata rambutnya. Selama merumput di lapangan hijau, ia pernah tampil dengan rambut vysvetlennye dan jambang berwarna blonde. Di lain kesempatan, ia mengecat jambang dan rambutnya dengan warna putih dan tetap menyisakan warna hitam di bagian akar rambutnya.
Dan, di penghujung karirnya sebagai pesepakbola, lagi-lagi ia membuat gempar para pecinta sepakbola dunia dengan pengakuannya bahwa dirinya telah menjadi seorang mualaf pada pertengahan Desember 2009 silam. Ia pun mengganti namanya dengan Faisal Xavier.
Abel Luis da Silva Costa Xavier atau lebih dikenal dengan Abel Xavier lahir pada 30 November 1972 di Mozambik. Ia memulai karir sebagai pesepakbola profesional saat bergabung bersama Estrela da Amadora pada usia 18 tahun. Tiga tahun kemudian ia bergabung dengan SL Benfica, klub sepakbola yang bermain di ajang liga utama kompetisi sepakbola Portugal. Ia merumput bersama Benfica selama dua musim (1993-1995). Di klub elite tersebut Xavier berhasil membawa klub berjuluk The Eagle ini menjadi juara Liga Portugal.
Talenta yang hebat sebagai defender membuat banyak klub Eropa tertarik padanya. Namun, ia lebih memilih bergabung bersama AS Bari, sebuah klub gurem di Liga Serie A Italia. Saat membela Bari, karir Xavier tidak begitu cemerlang sehingga ia dijual oleh klubnya ke klub La Liga Spanyol Real Oviedo pada 1996. Di klub barunya ini Xavier tidak bertahan lama. Pada tahun 1998, klub sepakbola asal Negeri Belanda, PSV Eindhoven, memboyongnya.
Lagi-lagi Xavier tidak bertahan lama merumput di Belanda. Ia kemudian mencoba peruntungannya di ajang Liga Primer Inggris. Ia tercatat pernah membela Everton FC (1999-2002) dan Liverpool FC (2002-2003). Saat terikat kontrak dengan Liverpool, Xavier sempat bermain bersama klub sepakbola asal Turki, Galatasaray SK, dengan status sebagai pemain pinjaman.
Xavier juga sempat mencicipi kompetisi Bundesliga selama satu musim (2003-2004) bersama Hannover 96. Ia kemudian memilih bergabung dengan AS Roma (2005) dan Middlesbrough FC (2005-2007) sebelum akhirnya hijrah ke Amerika Serikat pada tahun 2007. Di Negeri Paman Sam ini ia bergabung dengan klub MLS (Major League Soccer) yang pernah mengontrak David Beckhan, Los Angeles (LA) Galaxy.
Keputusan Xavier meninggalkan Middlesbrough dikarenakan ingin mencari tantangan baru dan menolak tawaran kontrak baru dari Boro. Kepindahannya ke Amerika Serikat pun sangat disayangkan beberapa klub di Inggris mengingat persepakbolaan Amerika Serikat masih dalam tahap berkembang. Keputusannya tersebut dinilai justru akan mengakhiri karir sepakbola Xavier.
Kekhawatiran banyak pihak bahwa karir Xavier akan berakhir di LA Galaxy terbukti adanya. Setelah bermain selama satu musim, manajemen LA Galaxy memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Xavier menyusul perselisihan yang terjadi antara dirinya dengan sang pelatih Ruud Gullit.
Perselisihan antara pemain dan pelatih ini bermula dari keputusan Gullit yang mendatangkan pemain baru untuk mengisi posisi yang ditempati Xavier. Pemain tersebut aadalah Eduardo Dominguez yang berasal dari klub Liga Klausura (Liga Argentina), Huracan. Kepada kantor berita Associated Press (AP), Xavier mengungkapkan bahwa dia merasa kecewa terhadap keputusan Gullit. Seperti dilansir AP, Xavier berkata, “Gullit melakukan hal yang saya anggap sangat arogan. Sebagai pemain, dia tergolong hebat. Namun sebagai pelatih, dia bukan apa-apa.”
Setelah dikeluarkan dari LA Galaxy, Xavier kesulitan mencari klub sehingga ia pun otomatis tidak lagi merumput di lapangan hijau. Hal tersebut tentu saja membuat hidupnya makin terpuruk. Dalam keadaan terpuruk, Xavier mengaku menemukan kenyamanan dalam Islam. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mempelajari Islam.
”Pada saat-saat sedih, saya telah menemukan kenyamanan dalam Islam. Perlahan-lahan, saya belajar agama yang mengedepankan perdamaian, kesetaraan, kebebasan dan harapan ini,” paparnya.
Pada tanggal 23 Desember 2009, dalam sebuah konferensi pers yang digelar di stadion Ras Al Khaimah di Uni Emirat Arab, Xavier mengumumkan perihal keislamannya dan nama barunya, Faisal Xavier. Dalam konferensi pers tersebut, ia juga mengumumkanpengunduran dirinya dari lapangan hijau untuk selamanya. ”Ini perpisahan emosional dan saya berharap untuk ikut serta dalam sesuatu yang sangat memuaskan dalam babak baru hidup saya,” kata Faisal.
Faisal tidak bercerita lebih panjang mengenai bagaimana dirinya mempelajari Islam. Ia hanya berterima kasih kepada keluarga besar Kerajaan Uni Emirat Arab. ”Mereka memeluk saya dan membuat saya merasa istimewa.” Interaksinya dengan keluarga kerajaan Uni Emirat Arab semakin membuka matanya dalam menilai Islam.
Keputusannya ini menjadi berita besar di berbagai media massa dunia. Meski berat harus meninggalkan dunia yang telah memberinya limpahan materi dan ketenaran, Faisal mengaku ikhlas. Ia pun merasa berutang budi karena hidupnya sekarang yang boleh dikatakan berhasil. Apalagi setelah pindah agama dan menjadi seorang muslim, dia belajar banyak hal tentang kepedulian, perhatian, dan empati kepada sesama. Menjadi seorang muslim baginya adalah menjadikan dirinya bermanfaat bagi kehidupan untuk sesama.
Lee Won Jae
Setelah tidak lagi bermain bola, Xavier kini mengisi hidupnya dengan melakukan berbagai kegiatan amal serta aktif di berbagai kegiatan kemanusiaan. Salah satunya dengan ikut ambil bagian dalam proyek-proyek kemanusiaan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan bermanfaat bagi kehidupan jutaan orang di Afrika.
Nama Lee Woon-Jae mungkin terdengar asing di telinga kita. Tapi, tidak demikian bagi Penggemar sepakbola di Asia, terutama di negara asalnya Korea Selatan (Korsel). Lee merupakan penjaga gawang kesebelasan nasional Korsel yang pernah mengikuti beberapa kali Piala Dunia. Terakhir, dia ikut membela negaranya pada Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan.
Sebelumnya, Lee pernah mengikuti Piala Dunia 1994, 2002 dan 2006. Pria kelahiran Cheongju, Chungbuk, Korea Selatan tanggal 26 April 1973 ini memang selalu dipercaya menjadi kiper nomor satu di timnas Korsel.
Karir internasional Lee dimulai ketika ia dipercaya untuk memperkuat tim nasional Korsel pada ajang Olympiade 1992 di Barcelona. Karirnya makin meroket ketika dia berhasil mementahkan tendangan penalti pemain sayap Spanyol, Joaquin, di perempat final Piala Dunia 2002. Tendangan tersebut merupakan tendangan pinalti keempat Spanyol.Keberhasilan Lee menahan bola yang dilayangkan Joaquin ini membuat Korea Selatan lolos ke semifinal, untuk pertama kalinya dalam sejarah sepakbola mereka. Kala itu, Korsel mengalahkan La Furia Roja 5-3 dalam drama adu pinalti, Namun, langkah tim nasional Korsel berhasil dihadang oleh Jerman di babak semifinal dengan skor 0-1.
Terpikat Islam
Namun tidak banyak yang tahu jika sosok kiper senior tim nasional Korsel yang mendapat julukan ‘Si Tangan Laba-Laba’ ini adalah seorang Muslim. Ya, dalam skuad tim negeri ginseng yang berlaga dalam Piala Dunia 2010 yang baru saja berakhir, Lee boleh dibilang satu-satunya pemain sepakbola Muslim.
Perihal keislaman Lee ini memang belum diketahui banyak pihak. Maklum, di Korsel mayoritas penduduknya beragama Buddha dan Kristen. Jadi, tak mengherankan, jika sosok Lee sebagai Muslim jarang diekspos. Meskipun begitu, di kalangan muslim pencinta sepakbola, Lee lumayan dikenal. Lee adalah seorang mualaf sejak tahun 2004. Jadi, ketika dia menyandang predikat Muslim sebagai pemain Korsel di Piala Dunia adalah sejak Piala Dunia 2006 di Jerman.
Perkenalan Lee dengan Islam terjadi di tahun 2004 silam. Sebelum memeluk Islam, Lee adalah penganut Kristen yang terbilang taat. Namun, perkembangan Islam yang cukup pesat di negaranya membuat dia tertarik dengan ajaran Islam. Lee pun akhirnya memutuskan menjadi Muslim. Dan, sejak saat itu ia taat menjalankan shalat dan puasa.
Saat Ramadhan tiba, Lee tetap berpuasa meski kompetisi sepakbola tengah berlangsung. Setiap harinya, Lee pun seperti biasa menjalankan shalat lima waktu dan sesekali ke masjid kalau pulang latihan atau menuju rumahnya. Lelaki berusia 37 tahun ini menikmati hari-harinya dengan tenang meskipun orang-orang di lingkungan sekitarnya kebanyakan non-Muslim.
Lee pun merasakan tolerasi beragama di tim nasional Korea Selatan dan di klubnya sehingga dia tidak merasa rikuh dengan predikat Muslim yang disandangnya.
Pensiun
Sepanjang karirnya, Lee tercatat sudah mengikuti empat Piala Dunia, dan ini membuat namanya masuk dalam dafrtar salah satu dari tujuh pemain Asia yang pernah bermain di empat Piala Dunia yang berbeda. Namun, pada ajang Piala Dunia 2010 lalu ia hanya menjadi pemain cadangan. Pelatih kepala Korsel Huh Jung-moo lebih memercayakan posisi kiper nomor satu kepada Jung Sung-ryong.
Posisinya yang hanya menjadi pemanas bangku cadangan selama Piala Dunia 2010 lalu ini agaknya yang membuat Lee akhirnya memutuskan untuk pensiun sebagai pemain nasional. Pertandingan persahabatan melawan Nigeria pada 11 Agustus 2010 lalu dengan kemenangan 2-1 menjadi penampilan Lee yang terakhir di tim nasional Korea Selatan. Lee telah menjadi bagian dari skuad Ksatria Taeguk dalam 130 pertandingan sejak 1994.
Markus Haris Maulana
Bagi penggemar sepak boladalam negeri, nama Markus Horison pastilah sudah tidak asing lagi. Sejak dipercaya menjadi penjaga gawang Tim Merah Putih pada babak penyisihan grup Piala Asia 2007 lalu, menggantikan Jendri Pitoy, nama Markus mulai banyak dikenal di jagad sepak bola Indonesia. Meskipun waktu itu Indonesia kalah 1-0 dari Korea Selatan, dan tersingkir dari gelaran kompetisi, tapi justru sejak itu, Markus Horison kerap dipercaya berada di bawah mistar gawang Tim Nasional Indonesia.
Markus Horison kecil lahir di Pangkalan Brandan, Medan, 14 Maret 1981. Hobinya bermain bola membawa ia bercita-cita untuk menjadi penjaga gawang Tim Nasional Merah Putih ketika ia menjalani karir profesionalnya suatu hari nanti. Perawakannyanya yang memang lebih tinggi dari rekan-rekan sebayanya, membuat anak bungsu dari empat bersaudara ini kerap dipercaya menjadi penjaga gawang setiap kali ia bermain bola dengan kawan-kawannya.
Menekuni hobinya bermain bola dimulai saat Markus Horison berusia 13tahun dengan masuk ke sekolah sepak bola, Brandan Putra. Tahun 2000, Markus yang juga memiliki hobi berenang ini memulai karir profesionalnya sebagai seorang pemain bola pada Divisi II PSKB Binjai.
Setahun kemudian, karirnya merambat naik dengan mulai bermain bersama klub yang berada di Divisi I, Persiraja Banda Aceh. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 2003, Markus bergabung dengan klub asal tanah kelahirannya, PSMS Medan. Bersama klub yang dijuluki ‘Ayam Kinantan’ ini, Markus Horison sempat berpeluang menjadi kampiun pada Liga Indonesia 2007-2008, sebelum akhirnya dikalahkan oleh klub satu pulaunya, Sriwijaya FC. Seiring dengan permasalahan internal yang terjadi dalam tubuh PSMS Medan, menjelang masa dimulainya Liga SuperIndonesia 2008-2009, Markus bersama dengan rekan-rekannya di PSMS seperti Mahyadi Panggabean, memutuskan untuk hijrah ke kesebelasan Persik Kediri.
Waktu ternyata mempertemukan kembali Markus Horison dengan klub lama yang sempat lama dibelanya, PSMS Medan. Terjadinya krisis dalam tubuh Persik Kediri pada pertengahan musim Liga Super, membawa Markus kembali menjadi penjaga gawang PSMS selama putaran kedua kompetisi tertinggi sepak bola diIndonesia. Tidak seperti kepindahannya yang disertai oleh beberapa rekan-rekannya, kepulangan Markus ke PSMS kali ini hanya seorang diri.
Sejak menekuni kariernya sebagai pesepakbola profesional, sejumlah prestasi telah ditorehkannya, baik untuk level klub maupun pribadi. Bersama klubnya kala itu, PSMS Medan, Markus menjuarai turnamen ‘Piala Emas Bang Yos’ selama tiga tahun berturut-turut (2004, 2005, 2006). Bahkan pada akhir turnamen pada 2006, Markus Horison memperoleh gelar sebagai ‘Pemain Terbaik’.
Dibesarkan di keluarga yang semua anggotanya beragama Kristen, Markus Horison yang merupakan anak dari pasangan Julius Ririhina, dan Yenny Rosmawati, banyak memperoleh gambaran mengenai agama Islam dari keluarga pihak ibu. ”Ibu saya awalnya Islam. Sejak menikah dengan ayah, Ibu berganti kepercayaan mengikuti kepercayaan ayah,” tutur pemilik nama lengkap Markus Horison Ririhina ini.
Menurut Markus Horison, kedekatan, dan keakraban yang ia miliki dengan kerabat dari pihak ibu, membuat Markus Horison sejak kecil sudah tidak asing lagi dengan hal-hal yang berbau Islam, seperti shalat, puasa, dan mengaji. ”Sejak duduk di sekolah dasar, saya sering menghabiskan liburan sekolah dengan berkunjung ke rumah saudara dari pihak ibu yang tinggal di Aceh. Dari situ, saya sering ikut mereka ke masjid. Tidak benar-benar masuk sih, tapi yah saya banyak memperoleh gambaran tentang Islam, dan shalat dari situ,” cerita ‘Penjaga Gawang Terbaik’ versi gelaran LigaIndonesia musim 2007-2008 yang lalu ini.
Pada tahun 2004, ketika ia berusia 25 tahun, Markus Horison mendapatkan hidayah dari Allah SWT, dan akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam. ”Saya memutuskan untuk masuk Islam, tanpa ada paksaan dari siapapun. Jadi, ini benar-benar keinginan saya sendiri,” tuturnya. Semenjak menjadi muallaf, Markus Horison memiliki nama lain yang lebih bernafaskan Islam, yaitu Muhammad Haris. Namun, ia lebih sering menggunakan nama aslinya, karena memang ia telah lebih dulu dikenal dengan nama Markus Horison.
Keputusan Markus Horison untuk menjadi muallaf bukannya tanpa rintangan. Di masa-masa awal perjalanannya memeluk Islam, ayah beserta ketiga kakaknya menentang keputusan tersebut. ”Awalnya tentu mereka semua merasa keberatan. Hal tersebut wajar, dan saya sangat bisa mengerti. Tapi, pada akhirnya mereka menyadari bahwa saya sudah cukup dewasa dan bisa menentukkan jalan hidup yang saya rasa terbaik untuk saya sendiri,” ujar Markus yang setia dengan model rambut bergaya plontos ini.
Sebagai satu-satunya muslim di keluarga, membuat Markus Horison terbiasa beribadah sendirian. Di kala bulan Ramadhan tiba, Markus biasa sahur, berbuka, menjalankan tarawih, dan merayakan lebaran Idul Fitri dan Idul Adha sendirian. ”Awalnya memang berat, tapi hal tersebut harus saya jalani,” kata Markus. Meskipun begitu, atlet yang ikut memperkuat tim Sumatera Utara pada pagelaran PON XVI di Palembang pada 2004 lalu ini, mengaku tetap senang, dan bahagia menjalaninya.
Menurutnya, dalam menjalani agama yang ia anut sebelumnya, dengan yang ia anut kini, Markus tidak menemukan adanya sebuah perbedaan yang teramat besar. ”Buat saya sebenarnya semua agama tidak terlalu berbeda. Semuanya mengajarkan kita untuk selalu ingat kepada Tuhan. Hal terpenting sebenarnya hanyalah bagaimana kita menjalankan kewajiban kita sebagai umat beragama,” lanjutnya.
Kebersamaan, dan dukungan sejak awal ia menjadi muallaf, justru diperoleh Markus dari rekan-rekannya di kesebelasan PSMS Medan yang kebanyakan beragama Islam. ”Saya sering shalat, belajar, dan bertanya hal-hal seputar Islam kepada mereka,” cerita Markus. Ramadhan pertama yang harus ia lalui pun bersamaan dengan kewajiban Markus menjalani latihan bersama dengan rekan-rekan satu klubnya. ”Haus bukan halangan, karena puasa itu kan kewajiban,” tegas Markus yang mengidolakan Rasullulah SAW ini.
Pengalamannya berpuasa pada Ramadhan pertamanya juga merupakan salah satu pengalaman paling berkesan yang ia rasakan semenjak menjadi muallaf. Pada tahun pertamanya berpuasa, ternyata ia mampu menjalankan ibadah puasa, tanpa ada bolong satu haripun.
”Rasanya saya tidak percaya bahwa saya bisa, karena pada hari-hari biasa saya termasuk orang yang paling tidak tahan lapar. Ternyata saya memang bisa, dan bahagianya saya ketika akhirnya berhasil mencapai Hari Kemenangan,” kenang Markus.
Kini, memasuki tahun keempatnya sebagai seorang muslim membuat Markus kian rajin mempelajari seluk beluk dunia Islam. Ia kerap membaca, dan mempelajari sendiri buku mengenai Islam yang ia beli untuk memperluas pengetahuan keislamannya. Buku-buku panduan shalat, dan berbagai buku bacaan doa pun sering ia beli untuk menyempurnakan ibadahnya. ”Saya biasanya membaca tulisan latinnya saja, karena memang bacaan arab saya masih kurang lancar,” akunya.
Sedikit-sedikit Markus pun belajar untuk menjalankan berbagai ibadah Sunnah seperti belajar berpuasa Senin-Kamis. Seperti juga kebanyakan umat muslim lainnya, memiliki harapan untuk dapat menginjakkan kaki di rumah Allah (menunaikan ibadah haji) hari nanti. ”Pastilah sebagai muslim saya ingin sekali bisa menjalankan ibadah umroh, ataupun haji. Selain itu, masih begitu banyak hal yang harus saya lakukan untuk menyempurnakan keislaman saya, seperti memperlancar belajar mengaji,” ujarnya.
Bruno Metsu
Bruno Lucas Felix Metsu, demikian nama lengkap pemberian orang tuanya. Namun publik sepak bola dunia lebih mengenalnya dengan Bruno Metsu. Namanya makin mencuat setelah ia berhasil membawa tim asuhannya, Senegal, masuk perempatfinal Piala Dunia 2002 silam. Keberhasilan membawa tim nasional sepak bola Senegal hingga ke perempatfinal Piala Dunia 2002 bisa dibilang sebagai prestasi terbesar Metsu sepanjang karirnya di dunia sepak bola.
Lebih dari 30 tahun berkarir, Metsu bukanlah pemain dan pelatih terkenal. Ia pernah bermain di klub papan bawah Prancis dan Belgia seperti Dunkerqe, Nice, Lille dan Anderlecht. Sejak 1988, ia menangani klub kelas dua Prancis, Beauvais, kemudian Lille, Valenciennes, Sedan, dan Valence. Sebelum menangani Senegal, ia sempat menangani negara kecil Afrika, Guinea, selama enam bulan.
Meski sukses melatih timnas Senegal, bukan berarti Metsu tidak menemui hambatan. Pertama kali tiba d Senegal, menurutnya, sama seperti pertama kali menangani klub Sedan. Semua orang menganggapnya sebagai makhluk asing dari luar angkasa. ”Mestinya, sebelum menilai seseorang, beri dia waktu untuk bekerja. Tapi biarlah, toh semua pun kemudian tahu apa yang telah saya perbuat,” katanya.
Namun, nyatanya dalam waktu singkat Metsu berhasil menggaet simpati para pemain dan official tim Senegal. Bukan dengan pendekatan hirarkis dan militeristik, melainkan dengan pola keterbukaan dan saling menyayangi. Kepada para pemain, berkali-kali ia menegaskan, ”Aku bukan polisi, tapi pelatih. Dan kalian bebas mengekspresikan apa saja.”
Dengan pendekatan itu, Metsu berkeliling ke sejumlah klub papan bawah Prancis, dan berhasil membawa pulang para pemain yang sebelumnya enggan bergabung di tim nasional. Dalam menumbuhkan motivasi, disiplin dan tanggungjawab, dia tidak pernah melepaskan suasana rileks, senda gurau, dan kekeluargaan. Apapun persoalan yang dihadapi, selalu dipecahkan bersama.
Filosofi kepelatihan yang ada dalam diri Metsu sebenarnya kian tumbuh seiring dengan keterpesonaannya terhadap benua Afrika. Pria yang lahir di Coudekerque-Village, Prancis, pada 28 Januari 1954 ini sangat mengagumi budaya Afrika. ”Ada suatu misteri, nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, persahabatan, sesuatu yang sudha hilang di Eropa,” katanya.
Di Afrika, menurutnya, pintu selalu terbuka. Di Eropa, pemain hanya akan mendatangi pelatih saat punya masalah. Sementara di Afrika, mereka akan mendatanginya kapan pun, untuk menyaksikan bagaimana sang pelatih bekerja. Pesona Afrika itu sangat menyetuh Metsu. ”Aku ini kulit putih berhati negro,” tukasnya bangga.
Boleh jadi, sentuhan nilai-nilai Afrika ini pula yang membuatnya memeluk Islam pada 24 Maret 2002 silam. Asal tahu saja, lebih dari 90 persen penduduk Senegal adalah pemeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia kemudian mengganti namanya dengan Abdul Karim.
Abdul Karim sendiri memang tak pernah mengungkapkan alasannya memeluk Islam. Baginya, agama adalah masalah privasi. Dia tak ingin mengumbar privasinya di depan publik.
Kini, ia hidup tenteram bersama istrinya, seorang perempuan Senegal bernama Rokhaya Daba Ndiaye. Mereka menikah dengan uang tunai 6 ribu euro sebagai mas kawin.
Rokhaya, bersama isteri para pemain Senegal, selalu setia memberi semangat pada tim nasional setiap kali mereka bertanding. Seperti pada ajang Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang. Tidak seperti pelatih tim negara lain yang melarang para pemainnya untuk mengajak serta para istri mereka, Abdul Karim justru menempatkan para istri dari skuad tim nasional Senegal dalam satu hotel yang sama dimana mereka menginap selama perhelatan Piala Dunia 2002.
Usai mengukir prestasi di Piala Dunia 2002, sejumlah klub dan negara berebut meminangnya. Kini ia dipercaya oleh Federasi Sepak Bola Qatar (QFF) untuk melatih tim nasional Qatar hingga 2014 mendatang. Dengan capaian prestasi yang pernah ia torehkan saat mengarsiteki tim nasional Senegal, tak mengherankan jika publik Qatar menaruh harapan besar pada diri Abdul Karim untuk mewujudkan impian lolos ke putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil.